Beranda | Artikel
Demonstrasi Bukan Solusi
Senin, 17 Oktober 2016

Demonstrasi termasuk dosa besar, demikian salah satu nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah (lihat dalam kitab al-Muzhaharat fi Mizani asy-Syari’ah al-Islamiyah karya Syaikh Abdurrahman asy-Syatsri hafizhahullah, hal. 76)

Demonstrasi termasuk sarana yang buruk dalam berdakwah sehingga justru menyebabkan kebenaran ditolak dan tidak diterima, bahkan seringkali demonstrasi inilah yang menimbulkan keburukan yang besar bagi para da’i, demikian salah satu nasihat Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (lihat al-Muzhaharat, hal. 77)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berpandangan bahwasanya berbagai aksi demonstrasi bukanlah solusi. Hal itu justru menjadi sebab fitnah-fitnah dan salah satu sumber keburukan-keburukan, dan menjadi sebab pelanggaran hak kepada orang lain serta terjadinya kezaliman terhadap sebagian manusia (lihat al-Muzhaharat, hal. 77)

Kerusakan yang ditimbulkan oleh demonstrasi ini jauh lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh darinya, dan dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Suatu perkara dengan sifat semacam ini maka hukumnya adalah haram. Demikian salah satu isi nasihat Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah (lihat al-Muzhaharat, hal. 79)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pun menegaskan bahwa demonstrasi adalah keburukan karena ia akan mengantarkan kepada kekacauan baik bagi orang-orang yang ikut berunjuk rasa maupun bagi pihak yang lainnya, bahkan terkadang timbul karenanya pelanggaran hak baik dalam hal kehormatan, harta, atau fisik. Karena orang-orang yang larut dalam demo ini seolah menjadi orang-orang yang mabuk. Oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa semua demonstrasi itu buruk; sama saja apakah ia diizinkan pemerintah ataupun tidak, yang jelas demonstrasi ini bukan jalannya para ulama salaf (lihat al-Muzhaharat, hal. 97-98)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyatakan, apabila undang-undang negara-negara kafir membolehkan demo ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Karena undang-undang mereka itu hanyalah aturan buatan manusia, sedangkan kita mengharamkan demonstrasi berdasarkan dalil-dalil syari’at (lihat al-Muzhaharat, hal. 98)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah pun telah menegaskan bahwasanya demonstrasi bukanlah metode yang diajarkan oleh syari’at Islam dan ia tidak termasuk dalam kaidah ‘hukum asal segala sesuatu adalah boleh’; karena sesungguhnya demonstrasi ini termasuk perilaku mengekor kebiasaan orang-orang barat/kafir (lihat al-Muzhaharat, hal. 101)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mewasiatkan kepada segenap ulama beserta para dai dan pembela kebenaran untuk menjauhi segala bentuk unjuk rasa dan aksi demonstrasi karena hal itu justru membahayakan dakwah dan tidak membuahkan manfaat untuknya, bahkan ia akan menyebabkan perpecahan diantara kaum muslimin, selain itu ia akan menimbulkan kekacauan hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Beliau juga mengingatkan hendaknya nasihat untuk penguasa diberikan dengan cara yang baik dan bijaksana dalam bentuk tulisan/surat atau berbicara secara langsung dengan penuh hikmah (lihat al-Muzhaharat, hal. 146-147)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Saya sungguh heran benar-benar heran kepada orang-orang yang menuntut untuk ditegakkannya hukum syari’at kemudian mereka justru membolehkan demonstrasi atau mereka justru mengajak kepadanya. Bukankah hal ini suatu hal yang jelas-jelas kontradiktif dan termasuk sikap mengikuti hawa nafsu. Karena tidak mungkin bisa ditegakkan hukum syari’at pada suatu masyarakat yang kacau dan tidak stabil.” (lihat dalam kata pengantar beliau di kitab al-Muzhaharat, hal. 4)

Apabila kita tengok dalam sejarah di masa kini dan masa lalu maka berbagai kekacauan dan kerusuhan serta tercabutnya rasa aman -bahkan pertumpahan darah- di tengah masyarakat adalah salah satu dampak nyata dari berbagai aksi unjuk rasa dan demonstrasi dengan dalih untuk menasihati penguasa.

Tidakkah anda ingat apa yang terjadi di negeri kita menjelang turunnya Presiden Soeharto -semoga Allah mengampuninya dan membalas jasanya dengan sebaik-baik balasan-? Tidakkah anda lihat apa yang telah terjadi di Suriah dengan tertumpahnya ribuan nyawa akibat aksi-aksi unjuk rasa kepada pemerintah yang zalim di sana?!

Para ulama pun telah memberikan nasihat kepada mereka untuk tidak menempuh cara-cara semacam ini… Wahai saudaraku, apakah kita tidak bisa memetik pelajaran dari apa-apa yang telah terjadi selama ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya cara anda beramar ma’ruf adalah dengan cara yang ma’ruf, demikian pula cara anda dalam melarang kemungkaran bukan berupa kemungkaran.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, tahqiq Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Raslan hafizhahullah, hal. 24)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila ternyata suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar darinya serta lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun memang Allah dan rasul-Nya membencinya dan murka kepada pelakunya. Perkara ini contohnya adalah tindakan mengingkari para penguasa dan pemimpin dengan melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan pedoman ini serta karena ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq kitab al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)

Gerakan massa adalah gerbang pertumpahan darah ribuan jiwa. Sebagaimana dituturkan oleh sebagian pemikir mereka, “Pikiran bahwa gerakan massa tidak dapat dihentikan dengan kekerasan adalah tidak benar. Kekerasan dapat menghentikan dan melumatkan gerakan massa sekuat apa pun. Tetapi untuk ini, kekerasan itu harus dijalankan tanpa ampun dan tanpa henti.” (lihat Gerakan Massa, hal. 109).

Kekacauan dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang dianggap wajar dalam sebuah gerakan massa. Hoffer mengatakan, “Keadaan kacau balau, pertumpahan darah, dan kehancuran yang berserakan di jalan-jalan yang dilalui gerakan massa yang sedang menanjak, menimbulkan kesan pada kita bahwa para pengkut gerakan massa tersebut memang kasar dan tidak mengenal tata tertib hukum.” (lihat Gerakan Massa, hal. 116)

Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan tercabik-cabik…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga terjadi dalam bentuk ucapan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ditanya tentang cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukup antara kamu dan dia saja.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 105)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja, pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat) menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka. Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) raja dan penguasa mereka pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak makar (kecurangan) dan tipu daya, demikian pula pemimpin mereka. Apabila mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan kepada mereka…” (dinukil dari Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/demonstrasi-bukan-solusi/